Senin, 18 Februari 2013

Pelayanan Excellent


Denda 10%. Itulah akibat terlambat membayar SOP (Sumbangan Operasional Pendidikan). Mau bagaimana lagi? Tabungan terpakai sebagian untuk bantu saudara. Mau bayar pakai apa? Di sisi lain, portal kampus terlalu lambat loadingnya. Lama-lama lupa. Waktu ingat lagi, portal kampus penuh terus, jadi login-nya mesti antri. Pas telpon teman, ternyata dateline bayarnya udah lewat seminggu. Mau ngurus ke kampus, kerjaan di kantor nggak abis-abis. Akhirnya baru hari ini bisa ngurus ke kampus.
Pertama, karena tidak tahu apa masih bisa bayar meski terlambat, jadinya harus tanya-tanya dulu. Langsung deh browse di internet, nomor kontak bagian keuangan. Ada 3 nomor contact person, semua di-sms, hanya satu yang menanggapi (sempat terpikir, kalau pelayanannya excellent, mestinya semua langsung menanggapi). Yah, Alhamdulillah, masih ada yang menanggapi (mestinya karyawan yang bisa memberikan pelayanan excellent seperti itu diberi penghargaan ya… karena hal itu sangat berhubungan dengan citra instansi). Nah, ternyata masih bisa bayar kok, tapi harus ke bagian keuangan dulu untuk buka blokir. Jadi, pergilah aku ke sana.
Berikutnya, ke bagian keuangan. Di sana mesti mengisi blangko keterlambatan. Saat menerima blangko, judul blangkonya adalah permohonan keterlambatan pembayaran. Rasanya kok nggak tepat ya… Aku kan mau bayar, kenapa mesti memohon segala. Aneh! Seharusnya judul blangkonya : surat pernyataan keterlambatan pembayaran SOP.
Saat mengambil blangko ternyata nggak sendiri, ada satu mahasiswa yang juga sedang mengurus keterlambatan. Petugas di sana menjelaskan, bahwa setelah blangko diisi, blangko harus dibawa ke fakultas agar dapat tanda tangan wakil dekan I (bagian keuangan). Yah, bisa dipahami, wadek I harus tahu ada pembukaan pemblokiran juga kan… Cuma waktu itu sempat terpikir, iya kalau pas waktu itu wadek I ada di tempat. Kalau tidak? Atau sedang keluar kota dalam waktu lama dan tidak bisa digantikan oleh yang lain? Alhamdulillah saat itu beliau sedang ada di tempat.
Selain itu juga sempat teringat keluhan mahasiswa yang sama-sama mengurus keterlambatan di bagian keuangan tadi. Aku masih beruntung karena kampusku satu lokasi dengan rektorat, jadi tinggal jalan kaki. Bagaimana dengan mahasiswa lain yang fakultasnya ada di kampus A atau B, lalu nggak punya kendaraan, atau nggak punya uang saku untuk bayar bemo (aku pernah merasakan pengalaman nggak punya uang saku untuk naik bemo waktu SMU dan S1). Betapa sengsaranya… Padahal cuma mau bayar keterlambatan, memenuhi kewajiban yang tertunda karena alasan yang pasti shahih (biaya kuliah sekarang makin mahal kan!).
Nah, setelah dapat tanda tangan wadek I (sempat ditegur karena pakai alasan lupa), blangko harus diberikan ke sekretaris dekan untuk dapat nomor surat. Bicara tentang alasan lupa, tentu saja kutulis alasan lupa, karena nggak mungkin menulis alasan seperti di atas kan? Ribet, bertele-tele, cuma mau bayar aja kok repot amat! Yang keluar uang juga aku, bukan kampus yang bayar ke aku, begitu yang sempat terpikir. Tadi sempat bilang seperti itu juga ke wadek I tapi sambil bercanda : “Bu, yang keluar uang kan saya”. Tanggapan bu Wadek : “Masalahnya bukan itu…”. Dalam hati aku berpikir, ya bu… masalahnya bukan itu. Ini masalah saya terlambat menunaikan kewajiban bayar. Tapi kewajiban bukan lagi kewajiban saat kompensasi dari terlambat bayar adalah nggak bisa mengisi KRS dan kuliah. Kalau belum bayar, otomatis kampus tidak perlu melaksanakan kewajiban pendidikan terhadap mahasiswa yang bersangkutan kan? Jadi kosong-kosong, nggak bayar, nggak kuliah. Tidak menunaikan kewajiban bayar, kampus tidak perlu menunaikan kewajiban pendidikan.
Nyaris! Tinggal minta nomor surat ke sekretaris dekan, baru saja sekretaris dekannya pamit pulang. Aku nggak bayangkan, kalau saja nggak ada petugas kesekretariatan yang lain, pasti aku harus balik keesokan harinya hanya untuk minta nomor surat. Alhamdulillah, terbukti memang, apabila kita memudahkan saudara kita, maka Allah juga pasti akan memudahkan kita. Aku memang suka kasihan kalau melihat orang lain susah, jadi kalau bisa bantu pasti aku bantu. Akhirnya, dapat juga nomor suratnya.
Ada pemandangan menarik saat menunggu petugas kesekretariatan mencari daftar nomor surat (lucu juga melihat daftar nomor suratnya masih manual, pake buku besar seperti buku arisan. Hari gini belum ter-computerized?! Ya ampun…). Pemandangan menarik yang kumaksud adalah selembar kertas yang tertempel di papan tempel di belakang meja kesekretariatan. Di sana tertulis : Nasib karyawan sejati, datang terlambat dimarahi, minta naik gaji ditandai, dan beberapa baris yang aku nggak ingat keseluruhannya. Saat membaca itu, dalam hati aku berpikir, kalau begini pikiran yang ada di benak setiap staf di instansi ini, wajar jika pelayanannya setengah hati. Akibat kronisnya adalah sulitnya instansi berkembang dan memperbaiki diri. Hati dan pikiran sudah tertutupi rasa curiga, dengki, serta tidak puas terhadap diri dan lingkungan kerja. Akhirnya kualitas kerja dan prestasi menurun. Para staf malas melayani apalagi mengembangkan diri.
Nah, setelah urusan nomor surat selesai kukira bisa langsung dibawa lagi ke rektorat, ternyata harus belok dulu ke bagian pendidikan. Kukira juga, di sana ada hal penting yang harus dilakukan. Ternyata cuma dilihat oleh petugasnya (yang saat aku masuk cuma terlihat diam menunggu, duh… kalah satpam bank), lalu petugasnya bilang silakan ditulis nama wadek I beserta NIP-nya, lalu fotokopi 2 kali. Ya ampun! OK deh… kalau memang begitu prosedurnya. Yang lucu adalah : coba aku tadi nggak tanya dimana bisa melihat nama lengkap dan NIP Wadek I, pasti aku harus muter-muter nyari. Setelah aku tanya, petugasnya langsung mengambilkan salah satu ijazah mahasiswa yang di dalamnya tertera nama serta NIP Wadek I. Padahal kalau sang petugas berniat memberikan pelayanan sepenuh hati, dia bisa saja membantu menuliskan nama dan NIP Wadek. Nggak berat kan, orang kegiatannya saat itu juga nggak banyak! Sambil menulis aku cuma bisa geleng-geleng kepala, begini punya visi excellent! Mau excellent darimananya? Pelayanannya saja setengah hati…
Jadi, pergilah aku ke koperasi kampus di mana layanan fotokopi berada. Saat berjalan aku berpikir, sekolah dasar tempatku bekerja tidak besar. Tapi kalau urusan fotokopi saja sih nggak perlu harus keluar kantor. Kalau di TU nggak ada mesin fotokopi, petugas TU akan dengan ikhlas men-scan dan mencetakkan. Padahal gaji karyawan di sekolah swasta (tingkat SD lagi) tidak begitu besar, tapi pelayanannya diupayakan maksimal. Lha ini… ck…ck…ck…! OK, fotokopi selesai. Dengan semangat aku bawa lembaran blangko itu kembali ke bagian pendidikan. Ternyata di sana cuma distempel, lalu diberikan lagi padaku untuk dibawa kembali ke rektorat. Ealah… gitu thok! Bayangkan kalau aku harus ke kampus A atau B hanya untuk mendapatkan stempel dari bagian pendidikan fakultas, lalu balik lagi ke rektorat di kampus C. Alhamdulillah, aku nggak harus melaluinya. Bagaimana dengan mahasiswa yang tadi ya… semoga dia juga dimudahkan.
Sesampainya di rektorat aku langsung menuju loket registrasi yang tadi. Ada sekitar 5 atau 6 orang di sana, dan semuanya bertampang “tidak peduli”. Aku sengaja tidak memanggil siapapun dari petugas yang ada di sana. Alasannya :

  1. 1.       Aku nggak tahu siapa yang harus kupanggil (mau panggil sembarang orang, iya kalau sopan atau memang benar orang itu yang bertugas, kalau tidak?)
  2. 2.       Di loket itu aku satu-satunya customer yang datang. Mestinya siapapun petugas yang ada di sana bisa melihatku, dan kalau pelayanannya excellent (misalnya di bank), maka petugasnya akan langsung menyambut customer. Begitu pula di sekolah tempat aku bekerja. Seluruh staf mulai dari pengelola sampai satpam mendapatkan pelatihan public relation. Sehingga jika ada tamu, siapapun yang melihat bisa langsung tahu apa yang harus dilakukan. Segera menyambut, menanyakan keperluan, dan membantu (jika perlu akan mengantar atau memanggilkan orang yang ingin ditemui). Karena itulah aku cuma berdiri di loket sambil membaca perilaku para staf yang ada di sana. Angkuh seru… padahal meskipun kampus negeri, kalau nggak punya mahasiswa repot juga kan? Kampus bisa gulung tikar, para staf akan kerja di mana?
Semua saling membutuhkan, jadi semestinya saling menghormati dan memudahkan. Dan keangkuhan itu adalah selendang Allah. Hanya Dia yang berhak memilikinya.
Akhirnya, seorang bapak menemuiku. Kuberikan blangko padanya, dan aku dipersilakan duduk. Tak lama kemudian, mbak yang tadi memberiku blangko kosong muncul dan menyelesaikan urusan blangko tersebut. Sebagai ganti blangko yang kuserahkan, aku mendapatkan potongan kertas kecil untuk membuka blokir. Kupikir, pemblokiran bisa langsung dibuka setelah aku menyelesaikan urusan blangko tersebut, ternyata tidak. Aku harus membawa potongan kertas kecil itu ke lantai 2 di bagian keuangan. Di sanalah pemblokiran bisa dibuka. Huah… naiklah aku ke lantai 2. Lama menunggu lift, aku naik lewat tangga. Masuk di bagian keuangan, nampak beberapa staf di sana. Di meja layanan mahasiswa ada seorang petugas perempuan yang minim senyum dan dalam keadaan hamil. Aku segera menyerahkan potongan kertas yang kubawa dan menunggu blokir dibuka. Selama menunggu petugas tersebut mengetik beberapa huruf di keyboard dan sesekali menggerakkan mouse-click, aku memperhatikan bahasa tubuhnya. Dalam hati aku berpikir, apa dia sedang merasa tidak nyaman dengan kehamilannya, atau hari sudah terlalu sore sehingga dia merasa sudah waktunya pulang tapi masih harus melayani mahasiswa? Apa pikirannya sedang terbebani sampai tidak satupun senyum tersungging di depan customer? Padahal senyum itu sedekah. Aku memilih untuk berpikir positif, kehamilan memang kadang membawa kondisi tidak nyaman pada fisik beberapa wanita. Dan itu nampak melalui sikap tubuhnya ketika mengetik, badan dan tangannya tidak bergerak sedikitpun, hanya jari-jarinya yang bergerak dengan malas. Kok bisa ya …?
Kalau diamati benar-benar, situasi di ruangan itu juga cenderung tidak dinamis. Aku berpikir mungkin karena sebentar lagi jam pulang, para staf sudah banyak yang lelah, dan sebagainya. Rasanya semua bergerak dengan lambat. Wah kalau begini, wajar jika instansi ini majunya lama. Semangat dan etos kerja para stafnya perlu di re-charge, kurang terbuka pada perubahan, dan mengedepankan yang tampak luar saja. Aku jadi kasihan dengan dosen-dosen yang kukenal dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Sebuah instansi yang tampak seperti raksasa tua terkena asam urat. Satu kakinya ingin berlari, yang satu terseok-seok. Hhh… almamaterku. Ingin rasanya membantu agar berdiri kokoh kembali.
Selesai blokir dibuka, aku diberitahu bahwa aku sudah bisa melakukan pembayaran melalui bank-bank yang ditunjuk. Kuterima kembali potongan kertas tadi, ternyata tidak diapa-apakan. Baris-baris perincian biaya yang harus kubayarkan pun dibiarkan kosong. Sehingga aku sempat kembali untuk menanyakan perihal denda. Karena saat itu aku kalkulasi nominalnya sudah tepat, aku nggak merasa perlu meminta petugas menuliskan perinciannya. Jadi, kusudahi saja wara-wiriku hari itu. Capek deh!
Sebenarnya saat itu aku berfikir, kenapa tidak di sini sekalian bayar SOPnya? Ini kan bagian keuangan? Dan di bawah ada mesin ATM. Aku bisa langsung ambil uang dan naik kembali ke bagian keuangan untuk bayar SOP, selesai deh! Bank kan sudah cukup dapat bagian (biaya administrasi) dari mahasiswa yang bayar tepat waktu. Masih belum cukupkah? Sampai-sampai mahasiswa yang terlambat bayar harus kena charge administrasi di samping denda 10%? Ck…ck…ck… Semoga kampus yang besar ini bisa segera membuat sistem terpadu untuk berbagai layanannya. Sudah bukan jamannya bertele-tele lagi. Banyak dari instansi pemerintah yang berbenah dan berubah. Kampus seharusnya menjadi pioneer perubahan itu sebagai manifestasi slogan “Agent of Change”.